“Kebun Dunia dan Kebun Surga: Refleksi atas Tindak Kebaikan”
Kebun surga belum tampak mata,
Namun benihnya tumbuh dari cinta.
Setiap sabar, setiap sedekah,
Adalah tunas yang tumbuh megah.
Di antara riuhnya zaman yang menanam deru dan panen debu, kebun tetap setia tumbuh dalam diam. Ia tidak berkoar, tapi meneduhkan. Tidak menuntut sorot, tapi merawat hidup dalam sunyi. Dalam tanahnya yang lembab dan akarnya yang bersahaja, kebun menyimpan refleksi paling jujur tentang kebaikan: ia memberi tanpa pamrih, dan mekar meski tak disaksikan siapa pun.
Namun kebun bukan hanya kumpulan tanaman. Ia adalah narasi yang diam-diam menyingkap relasi antara dunia dan surga. Di dalam kebun dunia, manusia belajar dari tanah—bahwa setiap tindakan baik butuh dipendam dalam kesabaran, disiram dengan niat, dan dipanggang oleh waktu. Tak ada panen instan. Tak ada hasil tanpa luka tangan.
Surah Al-Kahfi (18:45):
“Perumpamaan kehidupan dunia itu seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman di bumi… kemudian tanaman itu menjadi kering dan diterbangkan angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Surah Al-Baqarah (2:265):
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena mencari keridhaan Allah… seperti sebuah kebun di dataran tinggi… menghasilkan buahnya dua kali lipat.”
Kebun adalah ruang penantian, tempat keimanan diuji dengan ketekunan.
Kebun dunia adalah ladang ujian. Ia mengajarkan bahwa memberi tidak selalu menghasilkan balasan yang terlihat. Terkadang kebaikan tumbuh lambat, seperti tunas dalam musim kemarau. Tapi justru di situlah nilainya: kebaikan sejati tidak tumbuh untuk dipuji, tapi karena ia memang hidup untuk memberi.
Sementara itu, dalam lintasan spiritual, ada kebun lain: kebun surga, Dalam ajaran Islam, gambaran tentang kebun sering digunakan sebagai metafora yang kaya makna. Kebun bukan hanya sekadar hamparan tumbuhan hijau dan buah-buahan yang menenangkan pandangan, melainkan juga simbol atas buah dari usaha manusia — baik di dunia maupun akhirat. Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa kebun dunia dan kebun surga memiliki hubungan erat dengan tindakan kebaikan yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya. Tapi jangan keliru, kebun surga tidak tumbuh di langit, ia tumbuh dari akar-akar tindakan kita di dunia.
Maka pertanyaannya bukanlah “Apakah kita akan masuk ke kebun surga?”, tapi lebih tajam:
“Apakah kita sedang menanam kebun surga itu di dunia ini?”
Karena kebun surga bukan hadiah kosong. Ia adalah bayangan dari kebun dunia yang dirawat dengan cinta, kerja, dan kebaikan yang tak kenal lelah. Dan di sinilah kritik paling tajam bagi zaman kita: kita ingin panen surga tapi enggan menanam di dunia. Kita ingin buah kebaikan tanpa bersentuhan dengan tanah perjuangan.
Kisah Ulama dan Kebun: Taman Sebagai Jalan Cinta dan Ibadah
Dalam sejarah Islam, kita menemukan jejak para ulama yang hidup bersahaja dan menjadikan kebun bukan sekadar sumber pangan, tapi juga sumber tafakur. Salah satu kisah yang indah datang dari Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Dikisahkan, beliau memiliki kebun kecil yang beliau rawat sendiri. Dalam kesibukannya mengajar dan berdialog, ia tetap menyempatkan diri menyiram dan merawat tanamannya. Bukan semata demi hasil panen, tapi karena ia memandang bercocok tanam sebagai ibadah yang konkret—bentuk syukur atas bumi dan pengingat bahwa setiap yang hidup harus dirawat.
Kisah lain datang dari Imam Hasan Al-Bashri, seorang sufi besar dari Basrah, yang sering berkebun sebagai bentuk riyadhah (latihan jiwa). Ia berkata,
“Kalau besok kiamat, dan di tanganmu ada biji kurma, maka tanamlah.”
Ini bukan sekadar anjuran ekologis, tapi pandangan hidup. Tindakan sekecil menanam adalah bentuk pengabdian, meski dunia di ambang akhir.
Para ulama dahulu melihat kebun bukan sekadar ruang bertani, tapi taman kontemplasi. Di sanalah mereka berbicara dengan tanah, mengenali keagungan Tuhan melalui pertumbuhan daun, dan menemukan ketenangan dalam keteraturan alam. Kebun adalah kitab kedua, setelah wahyu, yang bisa dibaca dengan hati yang bersih.
Kebun sebagai Ruang Perlawanan yang Sunyi
Di tengah gempuran alat berat, alibi pembangunan, dan rakusnya kebijakan yang menjual hutan seperti tanah milik sendiri, kebun menjadi bentuk perlawanan paling sunyi namun paling murni. Saat masyarakat adat terus diusir dari tanah warisannya, saat pohon-pohon dijatuhkan demi angka pertumbuhan yang kosong makna, kebun menjadi ruang untuk mengingat, untuk mengakar, untuk melawan.
Kebun bukan sekadar tanah dan benih. Ia adalah arsip memori. Ia menyimpan pengetahuan yang tak tertulis dalam dokumen negara, tapi hidup dalam laku: cara menanam, meramu, menghormati tanah. Kebun adalah tubuh dari kosmologi masyarakat adat yang kini terus dipaksa untuk lupa.
Dan justru di sinilah letak keberaniannya: kebun adalah ruang yang tidak tunduk. Ia berdiri sebagai lanskap yang menolak untuk dilipat dalam peta kepentingan. Ia melawan tidak dengan senjata, tapi dengan kehidupan. Dengan menanam kembali, menjaga benih, menyiram bumi, dan tidak meninggalkannya meski dunia berlari ke arah sebaliknya.
Kebun adalah bentuk keberanian yang tidak berteriak. Tapi justru dalam kesunyiannya, ia lebih nyaring daripada pidato mana pun.
Di tengah dunia yang memburu cepat dan gemar membabat, kebun mengajak kita melambat, mengakar, dan tetap menanam—sebagai bentuk kebaikan, perlawanan, dan cinta yang sunyi namun tak pernah sia-sia.
Karena surga bukan tempat tiba-tiba. Ia adalah taman yang kita tanam hari demi hari, dari dunia ini.