Dunia Butuh Lebih Banyak Perempuan yang Marah
(Untuk para penyintas Mei 98 dan semua yang tak ingin dihapus dari sejarah)
Ada satu kalimat yang bikin isi kepala kami mendidih minggu ini:
“Tidak ada kekerasan terhadap etnis Tionghoa tahun 1998. Itu tidak pernah ada dalam sejarah kita.”
itu kata Fadli Zon. Menteri. Kepala Kebudayaan. Kepala pelupa.
Jadi mari kita perjelas. Biar terang.
Ini bukan soal perbedaan tafsir sejarah. Ini soal mulut busuk pejabat yang dengan sengaja meludahi luka . Ini bukan kekeliruan. Ini sabotase terhadap ingatan.
Fadli Zon tahu apa yang dia katakan. Dan justru karena tahu, dia bilang begitu.
Biar sejarahnya bersih. Biar luka-luka masa lalu bisa disapu pakai blazer kementerian.
Biar kekuasaan bisa terus duduk di atas tulang belulang perempuan yang diperkosa massal sambil berkata, “Tenang, semua baik-baik saja.”
Tapi semua tidak baik-baik saja.
Dan kami tidak lupa.
Bagi kami yang tumbuh di tepi sejarah, kami tahu bahwa tahun 1998 bukan dongeng. Ia berdarah. Ia berapi. Ia adalah luka. Dan luka itu punya nama-nama: Anita, Yenny, Mei Ling, Lim, Tan, Wong. Mereka bukan angka. Mereka tubuh. Mereka adalah para perempuan Tionghoa yang diperkosa di depan keluarganya. Mereka adalah pertokoan yang dibakar. Rumah yang dijarah, dan tubuh-tubuh yang dicabik kebencian kolektif yang dibangun oleh kekuasaan. Mereka adalah ibu-ibu yang hari ini masih menyalakan lilin untuk anaknya yang tidak pernah pulang. Mereka adalah ingatan yang tidak bisa dimaafkan.
Kekerasan 1998 jelas bukan rumor. Laporan Komnas Perempuan 1999 mencatat: “Telah terjadi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.” Jelas ini adalah sejarah. Dan sejarah itu tidak membutuhkan izin Fadli Zon untuk ada.
Ini bukan kekeliruan. Ini kejahatan
Fadli Zon tidak sedang keliru. Ia tidak sedang salah kutip. Atau salah dengar. Atau belum baca laporan. Fadli Zon tak sedang menyasar dan yapping sembarang. Ia sedang menembak langsung ke kepala ingatan. Sebab sejatinya Ia tahu—dan tetap memilih menyangkal. Dan dalam hal ini, kebohongan itu bukan bentuk kebodohan. Ia adalah bentuk dari kejahatan. Ia adalah bentuk dari kekuasaan. Ia adalah politik penghapusan.
Cara ini tentu bukan barang baru dan baru-baru dilakukan. Ini sudah jadi strategi negara sejak lampau: Bakar buktinya. Bungkam saksi-saksinya. Cap penyintasnya sebagai pembual.
Dan kalau masih ada yang berani bersuara—stempel dia sebagai tukang gaduh. Tukang makar. Antek asing. Komunis. Anarkis. Separatis.
Inilah negeri kita: Yang menutup mata pada pemerkosaan, tapi membuka panggung untuk pencuci daras kekuasaan. Yang menertawakan luka sebagai sekadar catatan, dan menjadikan kebudayaan bukan sebagai ruang ingat, melainkan ruang pembatalan.
Dan pola ini bukan cuman terjadi di negara yang mendaku besar ini. Ia adalah wajah global dari kekuasaan yang takut pada ingatan. Dan di tempat lain, wajahn itu tampil lebih telanjang.
Lihat Palestina hari ini: Anak-anak dibunuh. Rumah-rumah dihancurkan. suara-suara perempuan dibisukan. Namun yang lebih mematikan dari senapan dan ledakan adalah ini—penghapusan sejarah. Ketika sebuah bangsa direnggut haknya untuk mengingat. Dan Fadli Zon sedang belajar dari sana. Belajar bagaimana membungkam luka dengan pernyataan resmi.
Dan dalam dunia seperti ini, kita setuju dengan Greta Thunberg:
The world needs more angry women
Dunia tidak akan berubah karena orang baik diam. Dunia berubah karena ada perempuan-perempuan yang marah. Yang menolak diam. Yang menolak lupa. Seperti para ibu korban kekerasan 1998 yang terus berdiri di depan Istana, menyalakan ingatan ketika negara sibuk memadamkan. Seperti para penyintas yang tak kenal lelah mengulang cerita, walau tahu ceritanya akan terus dibantah. Seperti anak-anak muda yang terus mencatat. Mengarsip. Menulis ulang sejarah dari bawah.
Karena kemarahan mereka bukan bara yang membakar. Melainkan cahaya yang menuntun. Karena kemarahan mereka bukan sekadar ledakan. Tapi keteguhan. Kemarahan mereka adalah marah yang menyirami akar agar tetap tumbuh.
Dan karena itu, dunia butuh lebih banyak perempuan yang marah. Marah yang tahu bahwa perubahan bukan ledakan, melainkan bara yang sabar membakar kebusukan.
Dunia butuh kita semua, warga akar, untuk berkata:
Kami tidak lupa.
Kami tidak akan pernah memaafkan mereka yang menyangkal luka.
Dan kami akan terus menanam sejarah di tanah yang ingin kalian bakar.
Seperti pohon rindang yang tetap tumbuh di bekas lahan pembantaian.
Kami akan menyiram ingatan itu dengan air mata dan keberanian,
hingga akar-akar kebenaran menjebol trotoar kekuasaan.
Karena seperti kata Arundhati Roy: “There’s really no such thing as the ‘voiceless’. There are only the deliberately silenced, or the preferably unheard.”
Dan kami—di akar, di tanah, di kebun kecil kami—tidak akan diam. Kami akan terus kembali. Lagi dan lagi.