Di kaki Gunung Salak, tanah yang dulunya berbicara dengan keheningan kini harus diam menyaksikan perubahan.
Lembah Sukamantri yang dulu penuh dengan pohon-pohon purba, diramaikan suara burung dan kehidupan yang meresap dalam setiap helai daun, kini sedang diganti dengan hamparan hijau buatan bernama lapangan golf. Tempat orang-orang berseragam rapi berdiri di atas tanah yang tak lagi hidup, memukul bola demi sesuatu yang entah untuk apa. Mereka menyebutnya pembangunan. Tapi bagi bumi, ini tak lain dari sebuah pengkhianatan yang dibungkus tata ruang.
Lapangan golf yang tumbuh menggantikan hutan ini bukanlah sekadar proyek. Ia adalah lambang banal dari cara manusia memperlakukan alam. Sebagai benda mati yang bisa diatur-dijual, atau diganti sesuai selera orang-orang kaya untuk merengkuh kesenangan dan status sosial.
Apa yang dulunya bernapas, kini ditata untuk gaya hidup. Apa yang dulunya disucikan, kini dilapisi pestisida dan disiram agar selalu tampak hijau. Bumi dikosongkan dari makna, lalu diisi dengan negoisasi-negosiasi. Namun di tengah hiruk-pikuk ambisi dan perampasan ruang hidup ini–dari Iwul, Bara-baraya, Salaban, Kendeng, Morowali hingga Papua–ada perempuan-perempuan yang tetap memilih untuk menanam.
Bukan untuk mendapatkan keuntungan. Bukan pula untuk dikagumi. Tetapi untuk menyuburkan kembali tanah yang terus diapropriasi. Diam-diam. Konsisten. Penuh cinta. Dan mengapa mereka sedemikian keras kepalanya masih terus bertahan? Karena mereka tahu, dunia tidak akan selamat oleh mereka yang ingin menguasai alam. Melainkan oleh mereka yang bersedia menghormatinya.
Ekofeminisme Lahir dari Kesadaran bahwa Luka Alam dan Luka Perempuan saling Berkaitan.
Bahwa cara dunia memperlakukan hutan, tanah, air, dan benih—dengan logika perampasan, eksploitasi, dan apropriasi adalah cermin dari cara yang sama ia memperlakukan tubuh dan kehidupan perempuan. Ekofeminisme tidak sekadar menyerukan pelestarian lingkungan. Ia merombak cara pandang. Ia bertanya: bagaimana jika kekuasaan diganti dengan kepedulian? Bagaimana jika pengelolaan diganti dengan pengasuhan?.
Di Kebun Narada, kami mengadopsi prinsip-prinsip tersebut. Di Kebun Narada kami tidak mengklaim ingin menyelamatkan dunia. Kami hanya ingin menyemai ingatan bahwa hidup tak harus dimenangkan dengan cara menghancurkan. Kami tidak membangun dunia baru dengan menghancurkan yang lama. Kami hanya ingin hidup dengan cara yang lebih jujur. Lebih nyata. Lebih dekat dengan apa yang sudah sedari awal ada.
Dan jika dunia memang harus berubah, biarkan perubahan itu tumbuh dengan cara yang lebih lembut. ;Lewat tangan yang menanam, bukan yang meratakannya. Sebab mungkin, hanya dengan kembali kepada tanah, kita bisa menemukan kembali makna hidup yang hilang dalam kegaduhan dunia yang membangun lapangan golf di atas hutan.