Dari Kebun Ke Meja: Sebuah Jamuan Tanaman Liar dan Hak Pangan

Sejak sabtu siang (26/4), hujan turun di Bogor tanpa henti — hujan yang sabar dan panjang, bukan yang terburu-buru mengguyur lalu hilang. Langit dilapis abu-abu berat, udara basah menjalar menyelimuti jalan-jalan, genting rumah, hingga dedaunan yang menggantung berat di udara lembab. Di antara hujan yang jatuh nyaris tanpa suara, saya dan seorang kawan memulai perjalanan dari Laladon, menuju ke arah Puncak.

Sejak mula kami mafhum: Sabtu malam di Puncak hampir pasti berarti kemacetan. Maka kami ambil jalan tol, keluar langsung di Ciawi, berharap menghindari kemelut mobil yang saling berebut jalan. Mengandalkan peta digital, setelah sampai di kawasan Puncak, kami diarahkan ke sebuah gang sempit—jalan kecil berliku yang menyerupai labirin, lebih mengingatkan pada favela-favela di Rio de Janeiro ketimbang lanskap wisata pegunungan: belok kiri, belok kanan, menanjak curam—tanpa plang, tanpa penanda besar, hanya kepercayaan bahwa di ujung sana ada sesuatu yang pantas dicari.

Zads House tidak menampakkan diri sebagai kafe bergengsi. Ia hanyalah rumah biasa—rumah tinggal dengan halaman depan yang dirombak sederhana: sebagian beratap kayu, sebagian lagi membiarkan malam, embun, dan bau tanah basah masuk bebas. Di bawah atap itulah, kami berkumpul. Sepuluh orang, satu meja panjang, sepiring demi sepiring cerita.

Acara malam itu bertajuk Farm to Table of Indonesian Food, sebuah upaya kecil namun keras kepala untuk mengingatkan: bahwa keberlanjutan bisa bermula dari kepekaan terhadap apa yang tumbuh di pekarangan, bukan dari proyek-proyek raksasa, apalagi penjarahan dua juta hektare hutan. Diselenggarakan oleh Zads House dan didukung oleh Anugerah Rempah, acara ini menjadi percobaan pertama mereka untuk membawa konsep dari kebun ke meja ke lanskap kuliner tradisional Indonesia.

Di atas meja panjang itu, tak ada foie gras, tak ada wagyu, tak ada truffle impor.

Yang kita makan malam ini bukan hanya soal rasa,” ujar Jabbar Baskara, koki sekaligus narator malam itu, saat memperkenalkan hidangan pembuka. “Ini tentang mengenal kembali apa yang sudah lama ada di sekitar kita, tapi tidak lagi kita lihat.

Semua bahan diambil dari Kebun Narada, lahan organik yang menghidupi ide besar dengan laku sederhana. Tidak ada bahan impor, tidak ada rekayasa rasa. Hanya apa yang tumbuh alami: sintrong—tanaman liar yang selama ini dipandang sebelah mata—hingga katumpangan, lumut kecil yang biasanya tumbuh diam-diam di tembok tua yang basah.

Acara dibuka dengan sajian pertama: Dendeng Singkong. Sebuah kreasi sederhana dari singkong rebus yang dikeringkan, menghasilkan tekstur kenyal dan rasa alami dari umbi-umbian segar. Jabbar, berdiri di ujung meja, menjelaskan bahwa semua yang akan tersaji di malam ini, diperlakukan dengan satu prinsip: menjaga kemurnian.

“Tak ada yang digoreng,” katanya, sebelum melanjutkan dengan uraian tentang pentingnya metode perebusan untuk menjaga kemurnian rasa bahan-bahan lokal.

Menu utama malam itu adalah Nasi Pecel Katumpangan—seporsi nasi hangat yang diselimuti sayuran rebus dan sambal kacang buatan tangan. Di antara daun-daun rebus itu, katumpangan mencuri perhatian: sedikit getir, sedikit tajam, namun berpadu mesra dengan gurih sambal.

Di sela suapan, gelas-gelas lowball berisi Gendis—minuman tradisional dari bunga rosella, telang, dan hibiscus—diedarkan. Dingin, ringan, mengisi ruang antara obrolan santai tentang metode memasak dan diskusi berat tentang ketahanan pangan.

Penutup malam itu adalah sajian yang tidak terduga: Pandan Menor. Seporsi kecil es krim berbahan kentang, dengan selai rosella serta pala, dan disandingkan dengan dua potong bolu pandan yang ringan. Sentuhan modern ini, tetap berakar pada bahan lokal, menutup rangkaian makan malam dengan rasa manis yang bersih dan tidak berlebihan.

Malam makin dalam. Kabut turun perlahan, menyelimuti Zads House seperti selimut tebal dari langit. Di balik setiap sajian, berembus narasi besar: tentang bagaimana lidah kita, seperti juga pikiran kita, telah lama dijajah oleh rasa asing, oleh kemewahan buatan. Kita diajari mencintai makanan mahal, makanan berbungkus, makanan yang datang dari ribuan kilometer jauhnya — sambil melupakan tanaman liar yang tumbuh gratis di pekarangan.

Pangan itu hak, bukan sekadar barang dagangan,” kata Jabbar, menggarisbawahi filosofi malam itu. Di dunia yang dikuasai pasar bebas, harga pangan tidak lagi tunduk pada musim. Ia tunduk pada spekulasi politik. Pada permainan ekonomi global. Di banyak tempat, bahkan makan bukan lagi hak dasar, melainkan menjadi hak istimewa — sesuatu yang mudah hilang hanya karena harga yang terlalu tinggi untuk dijangkau.

Malam itu, dengan segala kesederhanaannya, sebuah kemungkinan dibisikkan: bahwa keberlanjutan tidak harus dibangun lewat pabrik-pabrik besar, tidak lewat teknologi canggih, tetapi lewat keputusan-keputusan kecil—mengenal kembali sintrong di pekarangan, atau lumut katumpangan di sela tembok rumah yang tumbuh menjalang.

Di tengah kabut yang kian berat, kehangatan malam itu disempurnakan dengan sebuah gesture kecil: Arga Anugerah, pemilik Anugerah Rempah, menghampiri tiap tamu. Satu per satu, ia menyodorkan hampers kecil: sebungkus bahan dapur sederhana, sebuah fanzine mungil dari Kebun Narada, dan selembar resep membuat jamu dari tanaman liar.

Lewat hampers sederhana itu, sebuah isyarat kecil seolah-olah diniatkan lahir, bahwa makan malam ini tidak berakhir di meja kayu Zads House. Ia akan berlanjut di dapur-dapur kecil, ke tangan-tangan yang mau kembali belajar: mengunyah tanah, mengingat asal.

Malam itu, kami makan sambil belajar. Sambil membangun ulang hubungan paling purba: manusia, bumi, dan rasa syukur. Dan keberanian paling sederhana dimulai dari bertanya: apa yang tumbuh di sekeliling kita?

penulis: Tenu Permana

editor: Reza Yudhistira

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *